Translate

Kamis, 08 Januari 2015

Kita Hanya Terdiam

Kita hanya terdiam, duduk tanpa jarak, kenapa kamu menjadi sepi? 

Rabu, 07.05.2014
Setiap hari Rabu, Djendelo Koffie mengadakan malam sastra. Berbagai acara sastra seperti pembacaan puisi atau cerita pendek ( cerpen ) rutin digelar. 


Rima

Hmm, karya cerita apa lagi yang akan mereka tampilkan. Menarik. Semoga dia tampil lagi. Dan, apakah dia masih saja dengan kegalauannya itu. Ssshh. Aku berdesis, kalau mengingat setiap dia tampil, selalu saja hal-hal berbau cinta—kasih tak sampai. Poor girl.

Aku putar-putar gantungan kunci motorku. Melenggang menaiki tangga café. Tempat duduk mash banyak yang kosong, pengunjung masih sepi. Aku lirik jam tanganku, 20.00 WIB. Pantas. Acara dimulai sekitar pukul 20.30. Cari posisi yang nyaman dan bisa menghadap lurus ke panggung.

“Mbak, pesen minum dong. Hot chocolate saja ya.” Teriakku pada salah satu pelayan berkerudung.
***

Disuatu hari, disuatu bulan, 2012
Besok aku terbang ke Paris. Sangat ingin menyapamu kembali.
Sent.

Sebaris kalimat sederhana yang tak sesederhana itu terangkai, dan lalu dikirim. Ada rentang waktu sekian hari untuk menghapus—mengetiknya ulang—berjeda waktu sekian jam, hanya untuk menekan tombol—sent.

Jarak dan waktu bukanlah hal yang memisahkan mereka.  Ajaib! Ralat—memisahkan? Memisahkan tak layak untuk menggambarkan hubungan keduanya. Lebih tepatnya, canggung. Entah. Ada sesuatu hal yang tak sepaham dan tak sepengharapan salah satu pihak.


Noira

Aku menghela nafas. Senyum-senyum sendiri. Sudah ‘gila’, aku, mungkin. Gila dengan semua teka teki waktu yang diberikannya. Gila dengan rasa penasaranku yang teramat sangat dengan perbedaan sikapnya. Tanpa ada penjelasan sedikit pun darinya tentang ini semua.

Aku masih ingat. Tentulah, aku masih ingat jelas. Sesaat setelah pesawatnya dari Jakarta landing. Aku menjemputnya, kami berdua lalu menuju sebuah coffee shop di sudut bandara Adi Sucipto. Dia pesan hot Americano, dan aku sendiri, ice cappuccino. Masih, masih ada kehangatan, kami masih bersenda gurau layaknya dua sahabat. Dia ceritakan pengalamannya selama mengajar bahasa Perancis di sebuah  Institute perguruan tinggi Jakarta. Bagaimana genitnya mahasiswi-mahasiswi yang dihadapinya. Lalu agresif meminta contact personnya.

Bukan waktu yang tepat.
Itu isi terakhir WhatsAppnya dia. Hanya berselang seminggu dari pertemuan kami di bandara. Sejak itu dia ‘menghilang’ lalu muncul dengan sosok yang berbeda. Dingin_seakan tak pernah akrab denganku. Lebih sering diam, senyum tipis, acapkali kami bertemu didalam keramaian event-event Jogja.

T I R A K A T, itu salah satu timelinemu di akun sosial media. Dengan tanggal yang sama, saat kamu mengirimkan WhatsApp tentang waktu kepadaku.

Lepas setahun darimu pun, aku masih menyayangimu.

Aku sibak tirai jendela kamar. Masih pagi, pukul 08.00. Penatku. Dua hari tidurku kurang nyenyak, demi hari ini. Pukul 1 siang nanti, disebuah bangunan bersejarah kota Jogja. Angin semilir, menyentuh rambutku, sejuk. Hppfh, aku menghela nafas lagi. Apa yang terjadi nanti.

Iya, selang sekian jam, dia membalas WA-ku. Senang? Pasti. Meski dibalas hanya dengan 3 kata: Iya, aku usahakan. Ahh, 3 kata itu sudah cukup, setidaknya ada respon.

Usahakan—noted! Pilihan kata probabilitas darinya.

Pukul 12.30 tepat. Aku sudah duduk manis, rapi, anggun, dibawah gencaran panas matahari Jogja musim kemarau. Setengah jam berikut, aku masih bisa duduk tegak, mengambil posisi berhadap-hadapan dengan candi Prambanan. My favorit temple. Karena keanggunan gabungan candi-candi didalamnya. Menjulang semampai lalu mengerucut diatasnya.

Sudah lewat 1 jam, belum ada tanda-tanda muncul darinya. Celingak-celinguk. Bergantian antara melihat HP, memutari sekeliling, benahin gamis terusan hijau tua, rapiin kerudung soft pink motif bunga-bungaku. Kembali menatap HP. Begitu terus, terulang.

Bulir peluh kombinasi gelisah dan terik matahari sudah membaur. Sikap anggun, telah lama menguap. Jam tangan sudah menunjukkan pukul stengah 4 sore.


Galang

Aku melihatnya. Dia cantik dan tampil anggun, seperti biasanya—Iya, tentu, aku ingin datang, untuk melihatmu terakhir kali, sebelum kamu akan menyesak jauh ke benua biru.

Maaf. Keputusanku bulat, Noira, untuk tidak lagi menemuimu, menatapmu, dan berbicara denganmu.

Mana sanggup aku melakukan itu semua.

Pada waktu lalu, aku pengagummu. Aku nyaman denganmu, kala itu. Sekarang, sudah tak sama lagi, Noira. Aku, bukan aku yang dulu. Kamu masih sama, sosok yang ramah, lembut, keibuan, ceria, dan selalu siap ada kapanpun aku akan datang kembali. Aku yang berubah.

Sudah 2 jam aku berdiri, bersandar dipohon berdiameter sedang. Menatap lekat kearahmu. Bersembunyi darimu. Iya, aku ambil jarak denganmu. Mata teduhmu bisa melumatku dalam. Tak ingin aku hilang control akan diriku, Noira. Dan, disini adalah jarak teraman buatku.

Kamu lebih elegan dengan hijabmu, Noira. 

Aku kangen dengan tawa renyahmu, sentilan humormu. Dan, apa kabar dengan rambut hitam legammu? Masihkah tergerai panjang?

Ahh, kamu  mulai beranjak pergi. Maaf Noira. Bahagialah dengan hidupmu kelak.

Aku hanya bisa tertelungkup. Badanku kubiarkan melorot begitu saja. Sakit dipunggung karena gesekan pohon tak kurasakan.

Apa yang saat ini kulakukan Noira? Apa??!

Kakiku gentar untuk mendekatimu.

Bip, bip. Suara notifikasi WhatsApp.

Noira.

Rosemary and musk, aromamu. Kamu ada, tapi tak menghampiriku. Mungkin tidak sekarang waktu yang tepat untukku darimu.
*** 

“ Mas, titip ini ke mbak yang baca cerpen itu.” bisik Rima ke pembawa acaranya.

Amplop coklat ukuran sedang, diselipkan Rima ke tangan pembawa acara sastra itu, yang kikuk menerimanya.

Rima memandang sekilas--raut wajah sendu mbak pembaca cerpen yang tak pernah dia tahu siapa namanya. Yang Rima tahu, kisah-kisah yang dibacanya adalah tentang seseorang yang sangat dekat dengannya. Galang, kakak kandungnya.

Rima melangkah pergi. Sekali lagi diliriknya, mbak si pembaca cerpen yang sudah menerima dengan heran, amplop coklat dari si pembawa acara.

Hai, mbak pembaca cerpen. Aku adiknya Galang. Yang aku yakin kisah-kisah yang selalu kamu baca, baik puisi maupun cerpen ditujukan kepadanya. Aku sarankan, berhentilah menunggunya, dan lanjutkan hidupmu dengan yang lain, bukan dia.


Noira

Amplop coklat?

“Dari siapa mas?” tanyaku pada si pembawa acara. Dia membalasnya hanya dengan mengangkat bahu. Tak tahu siapa.

Segera, aku merobek pelan amplop itu. Didalamnya ada 3 lembar foto dan beberapa artikel koran. Foto Galang tanpa rambut. Wajahnya bercahaya, wajah orang khusuk beribadah. Pakaiannya putih berpotongan sederhana menutupi sekujur badan. Dia berada di salah satu pesantren di ranah Sulawesi, background fotonya menjelaskan itu. Sekilas aku baca artikel-artikel yang memuat dirinya. Kugigiti bibir bawahku, penantianku selama menahun berakhir malam ini. Kelu.

Galangku telah memilih jalannya. 

SUFI.









 re-post cerpen
 special thanks to: @flo_chan1003




Tidak ada komentar:

Posting Komentar