Kita
hanya terdiam, duduk tanpa jarak, kenapa kamu menjadi sepi?
Rabu, 07.05.2014
Setiap hari Rabu, Djendelo Koffie
mengadakan malam sastra. Berbagai acara sastra seperti pembacaan puisi atau
cerita pendek ( cerpen ) rutin digelar.
Rima
Hmm, karya cerita apa lagi yang
akan mereka tampilkan. Menarik. Semoga dia tampil lagi. Dan, apakah dia masih
saja dengan kegalauannya itu. Ssshh. Aku berdesis, kalau mengingat setiap dia
tampil, selalu saja hal-hal berbau cinta—kasih tak sampai. Poor girl.
Aku putar-putar gantungan kunci
motorku. Melenggang menaiki tangga café. Tempat duduk mash banyak yang kosong,
pengunjung masih sepi. Aku lirik jam tanganku, 20.00 WIB. Pantas. Acara dimulai
sekitar pukul 20.30. Cari posisi yang nyaman dan bisa menghadap lurus ke panggung.
“Mbak, pesen minum dong. Hot
chocolate saja ya.” Teriakku pada salah satu pelayan berkerudung.
***
Disuatu hari, disuatu bulan, 2012
Besok
aku terbang ke Paris. Sangat ingin menyapamu kembali.
Sent.
Sebaris kalimat sederhana yang tak
sesederhana itu terangkai, dan lalu dikirim. Ada rentang waktu sekian hari
untuk menghapus—mengetiknya ulang—berjeda waktu sekian jam, hanya untuk menekan
tombol—sent.
Jarak dan waktu bukanlah hal yang
memisahkan mereka. Ajaib!
Ralat—memisahkan? Memisahkan tak layak untuk menggambarkan hubungan keduanya.
Lebih tepatnya, canggung. Entah. Ada sesuatu hal yang tak sepaham dan tak
sepengharapan salah satu pihak.
Noira
Aku menghela nafas. Senyum-senyum
sendiri. Sudah ‘gila’, aku, mungkin. Gila dengan semua teka teki waktu yang
diberikannya. Gila dengan rasa penasaranku yang teramat sangat dengan perbedaan
sikapnya. Tanpa ada penjelasan sedikit pun darinya tentang ini semua.
Aku masih ingat. Tentulah, aku
masih ingat jelas. Sesaat setelah pesawatnya dari Jakarta landing. Aku menjemputnya,
kami berdua lalu menuju sebuah coffee shop di sudut bandara Adi Sucipto. Dia
pesan hot Americano, dan aku sendiri, ice cappuccino. Masih, masih ada
kehangatan, kami masih bersenda gurau layaknya dua sahabat. Dia ceritakan
pengalamannya selama mengajar bahasa Perancis di sebuah Institute perguruan tinggi Jakarta. Bagaimana
genitnya mahasiswi-mahasiswi yang dihadapinya. Lalu agresif meminta contact
personnya.
Bukan
waktu yang tepat.
Itu isi terakhir WhatsAppnya dia. Hanya
berselang seminggu dari pertemuan kami di bandara. Sejak itu dia ‘menghilang’
lalu muncul dengan sosok yang berbeda. Dingin_seakan tak pernah akrab denganku.
Lebih sering diam, senyum tipis, acapkali kami bertemu didalam keramaian
event-event Jogja.
T I R A K A T, itu salah satu timelinemu
di akun sosial media. Dengan tanggal yang sama, saat kamu mengirimkan WhatsApp
tentang waktu kepadaku.
Lepas setahun
darimu pun, aku masih menyayangimu.
Aku sibak tirai jendela kamar. Masih pagi, pukul 08.00. Penatku. Dua
hari tidurku kurang nyenyak, demi hari ini. Pukul 1 siang nanti, disebuah
bangunan bersejarah kota Jogja. Angin semilir, menyentuh rambutku, sejuk.
Hppfh, aku menghela nafas lagi. Apa yang terjadi nanti.
Iya, selang sekian jam, dia membalas WA-ku. Senang? Pasti. Meski
dibalas hanya dengan 3 kata: Iya, aku usahakan. Ahh, 3 kata itu sudah cukup,
setidaknya ada respon.
Usahakan—noted! Pilihan kata probabilitas darinya.
Pukul 12.30 tepat. Aku sudah duduk manis, rapi, anggun, dibawah
gencaran panas matahari Jogja musim kemarau. Setengah jam berikut, aku masih
bisa duduk tegak, mengambil posisi berhadap-hadapan dengan candi Prambanan. My
favorit temple. Karena keanggunan gabungan candi-candi didalamnya. Menjulang
semampai lalu mengerucut diatasnya.
Sudah lewat 1 jam, belum ada tanda-tanda muncul darinya.
Celingak-celinguk. Bergantian antara melihat HP, memutari sekeliling, benahin
gamis terusan hijau tua, rapiin kerudung soft pink motif bunga-bungaku. Kembali
menatap HP. Begitu terus, terulang.
Bulir peluh kombinasi gelisah dan terik matahari sudah membaur. Sikap
anggun, telah lama menguap. Jam tangan sudah menunjukkan pukul stengah 4 sore.
Galang
Aku melihatnya. Dia cantik dan tampil anggun, seperti biasanya—Iya,
tentu, aku ingin datang, untuk melihatmu terakhir kali, sebelum kamu akan
menyesak jauh ke benua biru.
Maaf. Keputusanku bulat, Noira, untuk tidak lagi menemuimu, menatapmu,
dan berbicara denganmu.
Mana sanggup aku melakukan itu semua.
Pada waktu lalu, aku pengagummu. Aku nyaman denganmu, kala itu.
Sekarang, sudah tak sama lagi, Noira. Aku, bukan aku yang dulu. Kamu masih
sama, sosok yang ramah, lembut, keibuan, ceria, dan selalu siap ada kapanpun
aku akan datang kembali. Aku yang berubah.
Sudah 2 jam aku berdiri, bersandar dipohon berdiameter sedang. Menatap
lekat kearahmu. Bersembunyi darimu. Iya, aku ambil jarak denganmu. Mata teduhmu
bisa melumatku dalam. Tak ingin aku hilang control akan diriku, Noira. Dan,
disini adalah jarak teraman buatku.
Kamu lebih elegan dengan hijabmu, Noira.
Aku kangen dengan tawa renyahmu, sentilan humormu. Dan, apa kabar
dengan rambut hitam legammu? Masihkah tergerai panjang?
Ahh, kamu mulai beranjak pergi.
Maaf Noira. Bahagialah dengan hidupmu kelak.
Aku hanya bisa tertelungkup. Badanku kubiarkan melorot begitu saja.
Sakit dipunggung karena gesekan pohon tak kurasakan.
Apa yang saat ini kulakukan Noira? Apa??!
Kakiku gentar untuk mendekatimu.
Bip, bip. Suara notifikasi WhatsApp.
Noira.
Rosemary and musk, aromamu. Kamu ada, tapi
tak menghampiriku. Mungkin tidak sekarang waktu yang tepat untukku darimu.
***
“ Mas, titip ini ke mbak yang baca cerpen itu.” bisik Rima ke pembawa
acaranya.
Amplop coklat ukuran sedang, diselipkan Rima ke tangan pembawa acara
sastra itu, yang kikuk menerimanya.
Rima memandang sekilas--raut wajah sendu mbak pembaca cerpen yang tak
pernah dia tahu siapa namanya. Yang Rima tahu, kisah-kisah yang dibacanya
adalah tentang seseorang yang sangat dekat dengannya. Galang, kakak kandungnya.
Rima melangkah pergi. Sekali lagi diliriknya, mbak si pembaca cerpen
yang sudah menerima dengan heran, amplop coklat dari si pembawa acara.
Hai, mbak pembaca cerpen. Aku adiknya
Galang. Yang aku yakin kisah-kisah yang selalu kamu baca, baik puisi maupun
cerpen ditujukan kepadanya. Aku sarankan, berhentilah menunggunya, dan
lanjutkan hidupmu dengan yang lain, bukan dia.
Noira
Amplop coklat?
“Dari siapa mas?” tanyaku pada si pembawa acara. Dia membalasnya hanya
dengan mengangkat bahu. Tak tahu siapa.
Segera, aku merobek pelan amplop itu. Didalamnya ada 3 lembar foto dan
beberapa artikel koran. Foto Galang tanpa rambut. Wajahnya bercahaya, wajah
orang khusuk beribadah. Pakaiannya putih berpotongan sederhana menutupi sekujur
badan. Dia berada di salah satu pesantren di ranah Sulawesi, background fotonya
menjelaskan itu. Sekilas aku baca artikel-artikel yang memuat dirinya. Kugigiti
bibir bawahku, penantianku selama menahun berakhir malam ini. Kelu.
Galangku telah memilih jalannya.
SUFI.
re-post cerpen
special thanks to: @flo_chan1003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar