Translate

Kamis, 08 Januari 2015

Me vs Alien in my body...

"Kista Endometriosis dan Vonis Bayi Tabung"

Mbah Goggle menyediakan semua informasi yang kita butuhkan!

Waktu itu puncak-puncaknya aku penasaran, kenapa kalau capek, bawah perut sebelah kiri sakit-nyeri-ngilu seperti ditusuk-tusuk hingga terus menjalar ke kedua ujung kaki, clekit-clekit. Terus dibagian panggul atau pinggul ya namanya, itu juga linu.
Kadang kalau dipaksa buat jalan, nyerinya maksimal, uwouwooo. Dan berakhir hanya mampu leyeh-leyeh di kasur.

Nyeri perut kiri bawah… kata kunci yang aku pakai, dan hasilnya, walah…salah satu dari sekian banyak jenis sakit yang muncul adalah: Kista Ovarium, Endometriosis. Aku baca betul-betul tiap artikel dan mengingat-ingat gejala yang lain pada tubuh aku, yakni: keputihan cukup banyak.

Dan, ya, aku yakin bahwa ada sesuatu yang gak beres dengan organ wanita aku. Aku mengajak temenku untuk temani cek hasil gogglingku ke rumah sakit RKZ Surabaya. Kebetulan, ada dokter spesialis obgyn bergender: perempuan.

Seperti pada umumnya bila ke dokter, akan ditanya gejalanya apa. Aku jawab, nyeri di perut kiri bawah hingga ujung kaki ngilu.

Lalu ibu dokter cantik yang ramah mengarahkanku untuk berbaring di kasur dimana sebelah kanan alat-alat obgyn seperti USG, layar monitor, dan lain-lain. Beliau bilang, coba kita USG ya mbak. 

Saat di-USG itulah tampak di layar monitor beberapa lingkaran-lingkaran dengan warna gelap disisi lain, dan warna terang disisi satunya.

Ibu dokter yang elegan itu menatapku. Ini kok sepertinya, kistanya, kista ada kontennya ya mbak. Ada cairannya gitu. Wajahnya kembali menyimak layar monitor.
Sudah menikah toh? Tanya bu dokternya lagi.

Aku mengangguk. Terus beliaunya menginformasikan akan di-USG kembali, kalau tadi standart USG perut. Kali ini lewat, maaf, vagina. Kata beliau, akan tampak lebih jelas.

Yups. Aku sebenarnya agak deg-deg an juga. Tapi ada daya. Dah kepalang tanggung masuk dalam tahapan proses identifikasi sakitku. Pasrah.

Rileks ya mbak. Bu dokternya jelas tahu, perubahan raut wajahku, menegang.

Aku tarik nafas, berusaha segera mendapatkan ketenangan. Kata bu dokternya, biar alatnya mudah dimasukkan dan segera diketahui lewat layar monitor organ dalam kewanitaanku dan indikasi kista yang ada. Tuhaaan.

Temanku, Lilik yang duduk di meja dokter, aku lirik tertunduk, tak tega melihat kearahku. Yang terjadi, terjadilah, batinku. Hei, it’s life!

Sekian menit berlalu.

Ibu dokternya memastikan bahwa memang ada kista, letaknya menyatu dengan ovariumku. Dan kistanya termasuk kista yang mengandung cairan. Diameternya sudah cukup besar, 6 cm, Hanya bisa dilakukan tindakan operasi untuk mengambilnya. 

Bila diameternya masih dibawah 3 cm, cukup konsumsi pil KB sesuai petunjuk dokter agar kista mengecil, lalu luruh dengan sendirinya.

Juga ditemukan ada beberapa myoma berdiameter 1 hingga 2 cm disekitar rahimku.
Dan selanjutnya, ibu Dokter cantik yang aku lupa namanya menuliskan surat rekomendasi ke dokter spesialis obgyn di klinik fertilitas di rumah sakit graha amerta, DR. Relly.

“rumah sakit ini belum punya peralatan lengkap untuk operasi laparoskopi. Untuk kasus seseorang yang belum mempunyai anak, memang disarankan menggunakan operasi jenis itu. Laparoskopi mengurangi dampak kerusakan pada rahim. “

“Semisal mbaknya sudah punya anak, 2, 3, atau bahkan 4 dan sudah memutuskan tidak mau hamil lagi, ya, baru aku bisa mbak, operasi seperti cesar yang langsung dibedah lebar perutnya.”

“Ni mbaknya belum punya anak. Nah, DR. Relly ahlinya laparoskopi. Jadi, perutnya mbak hanya dilubangi kecil, kurang dari 1 cm. Begitu.”

Aku hanya angguk-angguk, dengerin penjelasan beliaunya.

Hari berikutnya, aku menemui DR. Relly sambil menyerahkan surat rekomendasi dari dokter sebelumnya.

Setelah diperiksa kembali, DR. Relly memastikan bahwa memang ada kista dengan diameter 6cm, kalau ada dana, beliau menyarankan untuk segera dioperasi. Beliau juga membenarkan adanya beberapa myom disekitar rahim.

“Mbak, tahapan berikutnya, hispatologi ya. Tindakan sebelum operasi, biar saya mengetahui letak pasti dari  myoma itu, dan tadi saya juga sempat melihat ada semacam polip juga.”

Beberapa hari kemudian, dengan kesiapan dana dan mental, saya kembali konsultasi. DR. Relly menjelaskan bahwa untuk hispatologi akan dilakukan dalam keadaan sadar, dan agak sakit, kata beliau.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Beliau juga menanyakan, kok sendirian. Suami atau keluarga mana? Aku jawab, kerja.

Gak deg-degan, gak nervous. Keinginan untuk segera bersih dari berbagai macam penyakit dialat reproduksiku dan keinginan segera mempunyai momongan lebih kuat.
Dan, oh Tuhaaaaan. Sakitnya luar biasa. Sebuah alat yang terdiri dari mini kamera, terus alat kecil lainnya yang bila ditekan bisa mengeluarkan air dimasukkan ke vaginaku.

Terus, hingga posisi pasti kista, myoma, dan diduga polip ditemukan.

Saking gak tahannya, aku teriak-teriak. Aku cakar 1 diantara 3 atau 4 calon dokter spesialis yang sedang belajar hispatologi. Ho, ya, aku pasien yang dijadikan studi kasus. Malu juga. Gak tahu, kalau ternyata saat proses hispatologi itu aku dijadikan semacam alat praktek. Ya, sudahlah.

Sekitar 10 menitan berlangsung. Begitu selesai, untuk mengurangi rasa sakit, perawatnya memasukkan 2 kapsul berbentuk seperti peluru ke, maaf, duburku.

Suamiku menyusul kemudian, mengingat sakit yang luar biasa itu, aku mengabarinya. Meski, sesaat setelah 2 kapsul itu dimasukkan, rasa sakitnya berangsur  menghilang.

2 minggu berselang…
Aku menyetujui saran dokter untuk segera dioperasi dengan metode laparoskopi itu. Sebelum itu, kembali aku mempercayai mbah google untuk mengetahui info-info apa itu laparoskopi.

Diantara link terkait laparoskopi, ada 1 video youtube dimana yang mengunduh itu adalah bapak dokter aku, DR. Relly.


Beberapa hari kemudian, aku mantap untuk menjalani laparoskopi.
Kurang lebih 4 jam, bius total, hingga aku siuman…
Diantara setengah sadar itu DR. Relly mengatakan:

“Kamu hanya bisa mempunyai keturunan dengan bayi tabung…”
Ruangan pasca operasi itu dingin, lalu kalimat itu muncul, diantara sadar-tidak sadarku…

“Saya sudah cek tuba falopi kanan dan kirimu. Yang kiri merekat jadi satu dengan jaringan pencernaan. Yang kanan sudah kami uji dengan cairan biru, buntu.”

“Jadi, mau kapan bayi tabungnya? Mumpung ‘bersih’ rahimmu.”

Diam.
Pasrah. Tuhan punya skenario terbaik bagi umatNya.

Kisaran Total Biaya Pra dan Pasca Laparoskopi: Rp. 20.000.000,- Dengan rincian: biaya laparoskopinya sendiri saat itu Agustus 2011, Rp. 16.000.000,-. Lain-lain: biaya Hispatologi: Rp. 1.000.000,-, pil KB resep dokter pasca operasi per 2 minggu sekitar Rp 100.000,- (harga tergantung beli di apotik mana.) penulis konsumsi itu sekitar kurang lebih 6 bulan, konsultasi dokter pra dan pasca per kedatangan Rp. 150.000,- biaya USG dan lain-lain.

*koreksi saya bila ada kesalahan dalam penuturan medis




Tidak ada komentar:

Posting Komentar