Sunset Bersamamu
“Abi, sini, dong.” Aku menarik
tangannya. Yang dipanggil sedang sibuk selfie berbagai gaya. Dasar, Abi.
***
“Riyu, ini.” Pada suatu malam.
Selepas Abi pulang dari kantor.
“Apa itu?”, tanyaku. Abi
mengisyaratkan aku untuk segera membuka amplop yang dia sodorkan. Amplop putih
dengan logo warna merah, logo salah satu provider telekomunikasi di Indonesia,
tempat Abi bekerja. Aku cepat-cepat membukanya hingga membuat bentuk amplop
robek tak karuan. Abi hanya geleng-geleng melihat tingkahku.
“Aaak, Abiiiii. Tiket pesawat ke
Bali.” Aku yang duduk selonjoran langsung berdiri memeluk Abi yang saat itu
sedang melepas sweater hijau botol v-neck koleksi merk ternama dengan logo Z,
kesayangan Abi.
Dan Abi seperti biasa, pura-pura
ketus.
“Kok, seneng. Excited gitu.
Bukannya kamu gak suka Bali.”
Aku melepas pelukanku.
“Ih, itu kan dulu, Bi.” Sambil
aku kibas-kibas 2 tiket itu dan beranjak ke dapur untuk menghangatkan makanan
untuk Abi.
Abi tahu bahwa aku suka kejutan,
manis! Lagian siapa sih yang gak suka kejutan? Eh, ada kali yha.
Kata Abi juga, kebetulan ada
tiket promo, murah. Anggaplah itu kado pernikahan kami yang kedua.
Aih, tumben Abi romantis.
Iya, dulu aku kurang menyukai
Bali. Karena sepengetahuanku, Bali itu hanya Kuta. Bali itu bising. Sudah terlalu
ramai. Pendapat picisan dari seseorang yang bahkan hingga umur ke 30 tahun
belum menyentuh, Bali! Tapi sudah berani berpendapat seperti itu.
But, Hei. Lihatlah sekarang.
Didepan mataku. Aaak, pasir putih, laut biru, langit biru, awan tipis berarak
pelan. Untaian nada dari deburan ombak. Here we are, The Bay Bali. Dan,
romantisnya lagi, hanya berdua dengan suami tersayang, Abi-ku.
“ Aku,
laper, Riyu.” Abi, merajuk.
Ahahaa, iya, Abi-ku,
orangnya manja. Abi bilang, dia
memilihku, agar dia bisa bermanja-manjaan denganku. Bukan sebaliknya. Issh,
Abi. Riyu juga butuh dimanja loh.
“Bi, bebek bengil, yuk.” Ajakku.
Abi mengangguk.
Set restonya, menentramkan, ada
beberapa bale etnik dengan konsep lesehan. Sepanjang jalan masuk menuju resto,
kanan kiri jalan, dipenuhi tanaman yang tumbuh rimbun. Ada beberapa lampu hias
yang terpajang berjarak. Hhhm, menikmati senja temaram di resto ini, pasti
bertambah romantis. Tapi ini masih masuk waktu makan siang. Abi-ku sudah
kelaparan.
Kami berdua sepakat memilih menu
bebek dengan sambal cabe hijau. Paduan pedas dan gurihnya mantap, terasa saat
daging bebek empuk, masuk ke langit-langit mulut kami. Kami lahap. Hanya sekian
menit dari penyajian para pramusaji, ludes sudah. Minumnya, kami memilih
minuman dingin, dahaga luar biasa diteriknya pantai musim panas. Minuman
cantik, aku bilang. Terdiri dari 3 lapisan warna, hijau, kuning pucat
ditengahnya, dan yang paling atas merah menyala. Rasanyaaa, boom. Menyegarkan.
“Ayuk.” Ajak Abi.
Kami keluar resto menuju suatu
tempat di salah satu spot The Bay Bali. Abi tergesa-gesa melangkah, dan aku
setengah berlari mengejarnya. Sore mulai menjelang, saat kami selesai makan,
dan lalu mengobrol santai di resto bebek bengil.
“Kemana sih, Bi?”, tanyaku
penasaran.
“Sudah, ikut saja.” Jawab, Abi. Tanpa
menurunkan tempo langkah kakinya.
Dan, kemudian, Abi, tiba-tiba
menghentikan langkah kakinya. Dan, kemudian, aku tiba-tiba, menubruk tubuhnya.
“Sini.” Abi menggandeng tanganku.
Aku menjejerinya. “Lihat itu.” Lanjutnya.
Mulutku menganga, kedua tanganku
reflek menutupinya. Pelan, aku melangkah mendekatinya. Matahari di ufuk barat
mulai tenggelam. Menyisakan guratan jingga dilangit, berbaur dengan abu-abu muda
temaram warna langit senja. Pecinta senja. Di sudut sana, di dekat karang
pantai. Ada deretan kursi-kursi berjejer 4 atau 5 baris. Terbagi dua di kanan
dan kiri. Dipisah oleh lapisan bunga mawar warna merah, yang disusun rapi
sebagai jalan titian menuju gapura simetris yang terpasang kokoh diatas pasir
putih.
Aku melangkah diatas untaian
kelopak mawar. Harum. Wangi. Indah. Semakin dramatis, saat aku memejamkan
mataku, menuju mimbar atau semacam gapura tempat biasanya calon pengantin
dipertemukan setelah ijab kabul resmi. dan, tepat didalam dilengkungan gapura,
matahari terbenam sempurna. Angin pantai semilir, membuat riak hingga
ujung-ujung kerudungku, bergerak tak beraturan. Cahaya matahari padam sempurna.
Digantikan oleh permainan cahaya cantik, lilin-lilin berwarna merah.
“Ehem.” Abi berdehem di
belakangku. Reflek, aku menoleh. Abi, sudah tersenyum manis.
“Our dreaming wedding, isn it?”
Aku tersenyum mengangguk. Iya,
inilah sebenarnya pernikahan yang kami berdua inginkan. Sederhana, dengan
mengundang segelintir keluarga dan sahabat. Di pinggir pantai, di suatu tempat,
di Bali. Tapi, ya sudahlah. Bagaimanapun, saat itu kami sepakat, kebahagiaan
orang tua, nomor satu. Jadilah, pesta pernikahan kami gede-gedean, dengan 1000
undangan tersebar dan hampir 2000 orang memenuhi gedung resepsi kami.
“Happy anniversary, dear. Thanks
God, tahun kedua telah terlewati, meski tidak mulus.” Ucap Abi, lirih. Lalu
mengecup lembut tepat dibibirku. Dan, aku balas memeluknya, erat. Jangan pernah
tinggalkan aku, Bi. Balasku, dalam hati.
Tok, tok. Suara ketukan di pintu
kamar hotel.
“Abi, bukain dong…” ucapku,
setengah sadar.
Tidak ada respon dari Abi. Aku
tersentak. Ah, iya. Aku mengucek-ngucek mata, mengerjap-ngerjapkannya. Mencoba menyempurnakan
ruhku, yang belum sepenuhnya terkumpul.
“Iya, siapa?” tanyaku
malas-malasan.
“Room service.” Ucap suara
diluar.
“Mohon kembali 1 jam lagi.”
balasku.
“Baik, Ibu. Maaf.” Terdengar,
suara langkah kaki menjauh dari balik pintu.
Aku membuka daun jendela,
lebar-lebar. Menyibakkan tirainya. Melangkah gontai ke pinggir balkon kamar
hotel.
Masih terasa ada Abi disebelahku.
Tertidur pulas, berselimutkan penuh menutupi tubuhnya, seperti kebiasaannya
selama ini. Dan, aku sangat menikmati pemandangan itu.
Abi, ini hotel yang sama, namun
dengan kamar yang berbeda, dan tanpa kamu disisiku. Aku mendesah pelan. Mencoba
menikmati, sisa pagi hari ini…
Manusia hanya bisa berencana. Tepat
menjelang perayaan pernikahan ketiga kami.
“Riyu.” Panggil Abi, pelan. Pada
suatu malam, di rumah kontrakan kami, di Surabaya. Aku sudah merasakan ini
hampir setahun terakhir, tinggal menunggu gong dari Abi.
“Dalam plan aku kedepan, sudah
tidak ada namamu didalamnya.” Datar. Lirih.
Aku hanya tertunduk. Diam,
membisu. Aku tahu siapa Abi. Seseorang yang kalau sudah mempunyai keputusan,
sulit untuk disanggah, apalagi diubah. Kalimat itu keputusan bulat seorang Abi.
Dan, aku hanya bisa mengiyakan. Abi menyerah dalam proses penyatuan dua
pemikiran individu dalam ikatan suci tali pernikahan.
Lenyap sudah, mimpi-mimpi
indahku, yang masih terajut, berakar dalam hatiku.
Aku melepasmu dalam kemudahan,
tak merepotkanmu dengan rajukan-rajukan memaksamu kembali. Tak menghantuimu
dengan sms-sms tak wajar, atau bahkan teror telepon, seperti yang mungkin
dilakukan oleh wanita lain yang diputuskan secara sepihak.
Mencoba mengamini kalimat Abi,
kelak, kita akan bahagia dijalan masing-masing, Riyu.
*Blog ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek menulis Letters of Happiness: Share your Happiness with the Bay Bali & Get Discovered! www.thebaybali.com